Penulis dan entrepreneur dunia digital asal Jerman, Monty Metzger menyebut tiga kunci dari masa depan digital (digital future) adalah internet, mobile, dan technology. Ketiga kunci tersebut telah dan terus akan membawa kepada pola-pola industri baru yang meliputi bidang Digital Healthcare, Digital Manufacturing, 3D Printing, Human Machine Interface, Digital Money & Digital Cryptocurrencies, Future of Education, Artificial Intelligence dan Robotics.[i]
Kita tidak akan mengupas mendalam tentang berbagai bidang industri yang berubah mengikuti revolusi digital. Namun kita mencoba menguraikannya sedikit ke belakang berpijak kepada pandangan-pandangan sosiologis dan memetakan tantangan bidang komunikasi ke depan.
Paham Informationalism
Paham informationalism disodorkan oleh penulis buku "The Rise of The Network Society”, Manuel Castells sebagai sebuah paradigma untuk melihat perkembangan teknologi baru. Castells menyatakan bahwa dasar dari paham ini adalah kemampuan manusia untuk memproses informasi dan komunikasi yang dihasilkan oleh pengolahan dan penerapan microelectronik, software, dan teknik genetika[ii]. Dengan paham ini maka masyarakat pada era informasi tidak lagi seperti masyarakat era industri yang memroduksi barang-barang, namun fokus kepada pekerjaan jasa (service) dan pengetahuan, memperdagangkan dan mengekstrasi nilai-nilai pengetahuan dan menyebarkannya melalui network society.
Pandangan Castells mendasarkan diri kepada teori jaringan sosial yang sudah lama dianut oleh banyak ilmuwan sosial. Informasi dan komunikasi merupakan elemen dasar dari sebuah jaringan. Tanpa ada informasi dan komunikasi maka jaringan tidak akan terbentuk. Castells mengamati bahwa kekuatan teori jaringan menemukan momentum ledakan yang luar biasa setelah digunakannya teknologi baru, yakni, seperti disampaikan oleh Metzger, internet, mobile, dan teknologi digital. Castells memberikan kacamata kepada kita untuk mengamati perkembangan masyarakat di dunia akhir-akhir ini mulai dari bidang ekonomi, politik hingga kejahatan. Kacamata tersebut adalah jaringan sosial.
Berkebalikan dengan pandangan komunikasi massa yang tumbuh pesat pada era industri, dengan pemahaman aliran informasi yang cenderung top down (lihat teori jarum hipodermik, difusi inovasi, dan agenda setting), maka komunikasi jaringan mengindikasikan adanya pemberdayaan pada tingkatan mikro (micro level) melalui pemahaman aliran informasi yang bersifat snowballing (menggelinding) dari tingkatan mikro ke makro, meskipun bisa terjadi sebaliknya.
Informationalism menggarisbawahi bahwa, seperti dipahami selama ini di dalam pandangan jaringan sosial, informasi merupakan modal kekuatan yang menentukan status dan posisi seseorang di dalam jaringan. Di sisi lain, jaringan sosial memiliki dasar komunikasi dyadic yang secara alamiah akan membatasi dominasi pihak (actor) tertentu terhadap pihak lain.
Tantangan
di Level Messo
Secara tradisional, organisasi media menempati level messo yang menghubungkan antara level mikro dan level makro di dalam jaringan sosial. Organisasi media adalah 'gate keeper' atas arus informasi dan mendapatkan keuntungan dari peran tersebut. Aktivitas agenda setting dilakukan oleh organisasi media tradisional dengan asumsi bahwa media tradisional memiliki keterbatasan ruang dan waktu.
Namun dengan perkembangan teknologi media baru, keterbatasan tersebut tidak lagi menjadi masalah berarti. Pengguna media bisa memilih sendiri atau memiliki agenda sendiri di dalam mengonsumsi informasi dari media baru. Agenda yang dimiliki oleh para pengguna ini, yang terpantau dari kecenderungan topik pembicaraan di media sosial, saat ini justru mempengaruhi agenda media tradisional.
Mengacu kepada pandangan jaringan sosial, keberlangsungan hidup organisasi media akan tergantung dengan keberadaannya di dalam jaringan sosial tersebut. Saat arah komunikasi sudah tidak bisa dengan mudah dikendalikan (gate keeping, agenda setting), maka peranan organisasi harus menekankan daya adaptasi media tersebut terhadap dinamika jaringan. Organisasi media memerlukan pekerjaan dengan cara lebih cerdas berpegang kepada kredibilitas, sekaligus fleksibel terhadap perbedaan-perbedaan.
Saat Digital Native Mengambil Peranan
Metzger di dalam video presentasinya secara lugas menyatakan bahwa dua-tiga tahun ke depan dari saat ini (2015), generasi digital native mengambil peranan signifikan di dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat[iii]. Istilah digital native dilontarkan oleh ahli pendidikan Marc Prensky di dalam tulisannya "Digital natives, Digital immigrants". Sebagai pendidik, Prensky mengkategorikan dua kubu generasi ini seperti di dalam pengkategorian pengguna bahasa.
Prensky mengidentifikasi generasi digital natives melalui salah satu cirinya bahwa mereka selalu membawa seperangkat alat komunikasi (gadget) di dalam aktivitas sehari-hari. Mereka menggunakan perangkat tersebut untuk mengekstensi diri mereka untuk membangun diri agar bisa mencair dengan aktivitas sehari-hari. Mereka sudah sangat piawai menggunakan bahasa teknologi sebagai bagian dari bahasa pergaulan di antara mereka. Mereka mampu beradaptasi segera dengan lingkungannya mengikuti kecepatan perkembangan teknologi terbaru dan tren yang cepat berubah[iv].
Ahli pendiikan dari Kansas University, AS, Brad Cunningham mengidentifikasi bahwa generasi digital immigrants masih memiliki aksen bawaan yang membedakan dengan digital natives. Digital immigrants sudah beraktivitas dengan menggunakan perangkat teknologi, namun penggunaan itu bukan satu-satunya cara. Mereka masih mengkombinasikannya dengan cara lama. Beberapa cirinya adalah mereka masih menelpon untuk untuk mengonfirmasi bahwa email telah terkirim, menulis pesan dengan kata-kata yang lengkap, pergi ke perpustakaan lebih dulu sebelum mereka mencarinya melalui internet[v].
Prensky menyimpulkan satu perbedaan utama antara natives dan immigrants adalah di dalam hal pemrosesan informasi. Generasi natives sangat cepat menyerap informasi dan berkomunikasi dengan sesama mereka (melalui media sosial). Meskipun terdapat jurang perbedaan di antara keduanya, namun kolaborasi antara digital natives dan immigrants mau tidak mau masih terjadi hingga saat ini dan beberapa tahun ke depan.
Pengamat teknologi dan inovasi Jeff deGraff, di dalam artikelnya yang dimuat di laman Huffington Post, menyimpulkan apa yang bisa dipelajari oleh masing-masing terhadap satu sama lain di antara dua generasi tersebut. Generasi digital natives mengajarkan kepada digital immigrants bagaimana cara berkolaborasi tanpa batas dengan beragam manusia; bagaimana menciptakan di mana saja nilai-nilai di dalam kehidupan, dan bagaimana memciptakan solusi yang bersifat horisontal. Di sisi lain digital natives bisa belajar dari digital immigrants tentang; bagaimana mencapai sasaran dengan cepat; bagaimana untuk fokus teehadap sumberdaya untuk membangun sesuatu berskala besar; dan bagaimana merevitalisasi dan memberadayakan kembali institusi-institusi yang ada[vi].
Bagaimanapun, apa yang saat ini berkembang pesat dan menjadi bagian sehari-hari generasi digital natives adalah hasil temuan dari generasi digital immigrants. Kolaborasi adalah kata kunci baru menggantikan kompetisi. Sulit akan membayangkan susasana penuh kompetisi di dalam membangun jaringan-jaringan sosial yang menguntungkan satu sama lain. Bukan tidak mungkin, seperti disinggung deGraff di artikel tersebut bahwa ke depan, generasi setelah natives akan berkarakter seperti karakter immigrants. Bukankan jaman melaju dengan cara berputar?
Monetisasi
Monetisasi berasal dari kata di dalam bahasa Inggris 'monetize' yang secara sederhana berarti mengkonversikan aset menjadi uang[vii]. Industri media tradisional memonetisasi asset mereka berupa banyaknya jumlah pengguna (pemirsa, pendengar, pembaca) sebagai nilai rating yang menentukan nilai monetisasinya (rate card). Perkembangan media baru membuka peluang monetisasi jumlah pengguna ini bisa dilakukan oleh siapa saja di dalam jaringan. Besarnya jumlah aktor di dalam jaringan tersebut akan menentukan besarnya jumlah aset yang bisa dimonetisasi.
Contoh paling sukses adalah Facebook yang tahun lalu ditaksir memiliki nilai kapitalisasi pasar mendekati 200 miliar USD. Aset utama Facebook adalah jumlah akun pengguna aktif yang menurut penghitungan situs statista.com per bulan mencapai 1,44 miliar pengguna aktif[viii]. Begitu besarnya jumlah ini, hingga seorang pengamat membuat penyimpulan bahwa satu dari tiap lima penduduk dunia memiliki akun Facebook aktif[ix]. Akun pengguna yang memuat informasi pribadi seseorang yang jumlahnya menentukan besarnya nilai kapitalisasi dari jaringan sosial seperti Facebook tersebut membenarkan apa yang ditulis oleh guru besar filsafat dari University of Connecticut, Michael P Lynch bahwa akun aktif seseorang di media sosial adalah mata uang baru untuk membeli keterbukaan dan kebebasan arus informasi[x].
Bagi praktisi maupun pegiat bidang komunikasi, monetisasi merupakan peluang untuk mendapatkan hasil kerja secara profesional. Selain peningkatan kemampuan untuk menunjang profesionalitas, tantangan ke depan adalah meraih hasil dari monetisasi komunikasi dengan porsi hasil bagi pengguna yang lebih besar dibanding saat ini, bukan jauh lebih besar bagi pihak seperti Google dengan YouTube dan Bloggernya, atau Facebook.
Inovasi, Kolaborasi dan
Pemerataan
Era industrialisasi kental dengan semangat kompetisi. Namun apakah semangat itu masih relevan untuk ke depan? Merebaknya jaringan sosial melalui media baru tampaknya kurang 'sreg’ dengan semangat itu. Bahkan di dalam level makro semangat kompetisi cenderung memudar. Di dalam pengembangan kerja sama luar negeri untuk pembangunan, beberapa negara Eropa seperti Inggris saat ini memberikan penekanan lebih besar terhadap semangat inovasi dan kolaborasi[xi]. Semangat persaingan yang cenderung memusatkan aliran sumber daya ke pihak-pihak penguasa ekonomi maupun politik semata rupanya bukan jawaban atas apa yang menjadi filosofi dari pembangunan itu sendiri.
Indonesia sebagai negara yang tertinggal mendapati masalah-masalah pelik sebagai tantangan di bidang komunikasi ke depan. Alwi Dahlan di dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu komunikasi UI, memandang bahwa tantangan bidang komunikasi bagi bangsa-bangsa seperti Indonesia adalah pemerataan. Mengingat bahwa kesenjangan, lebih spesifik kesenjangan digital (digital divide) adalah salah satu hambatan pemerataan informasi tersebut. Dengan pemerataan, yang artinya bisa menjadi ladang subur berkembangnya jaringan sosial, maka kesenjangan-kesenjangan ini bisa diminimalkan.
Alwi Dahlan melansir empat sasaran pemerataan komunikasi tantangan yang harus diatasi oleh para praktisi dan pegiat bidang komunikasi, yakni; pemertaan akses komunikasi bagi setiap orang; pemerataan teknologi; pemerataan prasarana komunikasi dan informasi, dan pemerataan kesempatan berkomunikasi[xii]. Digitilalisasi spektrum televisi untuk digunakan sebagai saluran internet merupakan peluang untuk meningkatkan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. Namun hambatan politik dan ekonomi masih menghalanginya, meskipun pemerintah masih tetap dengan komitmennya yakni pada 2018 nanti. Dan sesuai apa yang diramalkan oleh Metzger, momen perubahan besar itu akan terjadi di tahun tersebut.
[i] Metzger, Monty, 27 April 2015, Digital Future and the State of Europe’s Digital Ecosystem #Keynote, http://blog.monty.de/2015/04/digital-future-and-the-state-of-europes-digital-ecosystem-keynote/
[ii] Castells, M, 2004, Informationalism, Networks, And The Network Society: A Theoretical Blueprint. In Castells, M. (Ed.), The Network Society: A Cross-Cultural Perspective. Northampton, MA: Edward Elgar. Hal 11.
[iii] Lihat video MOCOM 2020 - The Future of Mobile Media and Communication, 5 Mei 2009, https://www.youtube.com/watch?v=FScddkTMlTc
[iv] Prensky, Marc, 2001, Digital Natives, Digital Immigrants, On the Horizon (MCB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001).
[v] Cunningham, Brad, 2007, Digital Native or Digital Immigrant, Which Language Do You Speak? http://www.nacada.ksu.edu/Resources/Clearinghouse/View-Articles/Digital-natives-and-digital-immigrants.aspx
[vi] DeGraff, Jeff, 16 Juni 2014, Digital Natives vs. Digital Immigrants, http://www.huffingtonpost.com/jeff-degraff/digital-natives-vs-digita_b_5499606.html
[vii] http://www.investopedia.com/terms/m/monetize.asp#ixzz3bKt37cto
[viii] Statista, 2015, Number of monthly active Facebook users worldwide as of 1st quarter 2015 (in millions), http://www.statista.com/statistics/264810/number-of-monthly-active-facebook-users-worldwide/
[ix] Halleck, Thomas, 30 Januari 2015, Facebook: One Out Of Every Five People On Earth Have An Active Account, http://www.ibtimes.com/facebook-one-out-every-five-people-earth-have-active-account-1801240
[x] Lynch, Michael P, 7 Mei 2015, The philosophy of privacy: why surveillance reduces us to objects, http://www.theguardian.com/technology/2015/may/07/surveillance-privacy-philosophy-data-internet-things
[xi] Leach, Anna,14 April 2015, Collaboration not competition: could this be the future of development? http://www.theguardian.com/global-development-professionals-network/2015/apr/14/collaboration-not-competition-could-this-be-the-future-of-development
[xii] Dahlan, Alwi, 5 Juli 1997, Pemerataan informasi, komunikasi dan pembangunan: Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap ilmu komunikasi FISIP UI, Jakarta
Comments
Post a Comment