Jawaban Ujian Akhir Semester Manajemen Media
Tanya 1
Televisi adalah entitas industri/bisnis yang melakukan kegiatan
manufacturing produk (jasa), memasarkannya dan menawarkannya pada publik untuk
mendapatkan revenue dan keuntungan dalam bentuk
uang maupun jasa. Karena industri televisi
menggunakan frekuensi publik, industri televisi
wajib untuk memperhitungkan manfaat maksimal publik dari setiap
tayangan/produksi acara-acaranya. Jelaskan secara
kritis dan komprehensif pandangan anda terhadap
industri pertelevisian di Indonesia dari berbagai sisi kepentingan bisnis,
politik, sosial, ekonomi, pendidikan, serta pencerdasan bangsa. Bagaimana
solusinya menurut anda. Gunakan fakta dan data secara maksimal untuk
mempertanggungjawabkan pendapat anda.
Jawab 1:
Manufacturing Content atau Manufacturing Consent?
Secara teoritik diakui bahwa media
tidak lepas dari kepentingan ekonomi politik. Dennis McQuail merumuskan dimensi
ekonomi-politik media yang selain memberi perhatian kepada dinamika media
berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, juga kepada kepentingan ekonomi-politik
yang memengaruhi media tersebut[1].
Masalah yang mencuat adalah keterkaitannya dengan kepemilikan media yang
seringkali menjadi isu yang krusial. Kepentingan ekonomi-politik dari pemilik
cenderung mendominasi content media yang mengarahkan content media tersebut
kepada model propaganda.
Model propaganda berfokus kepada
ketidakseimbangan kesejahteraan dan kekuasaan, serta impilikasinya terhadap
kepentingan dan pilihan-pilihan yang diakomodir oleh media massa.[2]
Chomsky dan Herman menyebut model propaganda menempatkan uang dan kekuasaan
sebagai filter untuk memilih pesan-pesan yang layak muat/tayang, meminggirkan
kepentingan lain, dan memberikan tempat bagi pemerintah dan kepentingan swasta
yang dominan untuk menyebarluaskan pesan-pesan mereka kepada publik.
Justifikasi yang digunakan oleh para
pengelola stasiun televisi memfilter pesan-pesan ini adalah pendekatan (fungsi)
agenda-setting yang diperkenalkan oleh McCombs dan Shaw di awal tahun 1970-an.
Pendekatan ini berlandaskan pemahaman bahwa slot waktu televisi bersifat
terbatas, sehingga televisi hanya mengutamakan (menonjolkan) pesan-pesan
tertentu saja yang diklaim sebagai penting bagi publik[3]. Namun
kepentingan publik seringkali hanya menjadi dalih.
Uang dan kekuasaan tetap memainkan
peranan utama. Dominasi uang dan kekuasaan mengakibatkan media menjadi; (1)
berskala besar (the size), kepemilikan yang terkonsentrasi; (2) bergantung
kepada iklan sebagai sumber pemasukan utama; (3) mengandalkan diri kepada informasi
yang disediakan oleh pemerintah, bisnis, dan "ahli-ahli" yang
didukung dan disetujui oleh sumber-sumber dan agen-agen kekuasaan; (4)
perangkat teguran untuk mendisiplinkan media; dan (5) anti-komunis sebagai
ideologi dan mekanisme kontrol[4].
Deskripsi Chomsky mungkin terasa
cocok untuk menggambarkan media pada masa orde baru. Saat itu, semua media
massa dikontrol ketat oleh penguasa. Kebanyakan media menjadi corong untuk
melanggengkan aparatur orde baru menguasai kehidupan ekonomi politik serta
sektor-sektor lainnya[5].
Namun Chomsky melihat model propaganda justru terselubung di balik model pasar
bebas industri televisi yang melakukan manufacturing consent di balik
content-content yang disebaluaskan kepada publik. Sebagaimana yang
terjadi akhir-akhir ini pada siaran news khususnya di Metro TV dan TV One,
bukankah masih relevan untuk menyebut apa yang mereka lakukan sebagai
manufacturing consent?
Jika pada masa orde baru, penguasa
mengeluarkan larangan untuk content yang tidak sejalan dengan kepentingan politik-ekonomi
penguasa, maka saat ini media-media tersebut juga memilih tidak memuat
pesan-pesan yang berlawanan dengan kepentingan politik-ekonomi pemiliknya.
Jangan berharap pesan yang mengkritisi sepak terjang partai Golkar kubu Abu
Rizal Bakrie akan bisa ditayangkan di TV One, begitu pula Metro TV akan menolak
menayangkan pesan yang menekan pejabat-pejabat pemerintah dan politisi dari
partai Nasdem.
Hanya saja terdapat perbedaan
manufacturing consent yang dibentuk oleh penguasa orde baru dengan yang dilakukan
penguasa media saat ini. Salah satunya adalah pada reaksi dari para aktivis
yang pada masa orde baru berhasil menyeret publik untuk turun ke jalan,
sedangkan sepak terjang media-media televisi akhir-akhir ini tidak mendapatkan
reaksi sekeras itu dari publik[6].
Padahal mengacu kepada model public
trustee, model yang sesuai amanat undang-undang agar diterapkan pada lembaga-lembaga penyiaran swasta di Indonesia, publik seharusnya bereaksi keras dengan penelikungan kepentingan
ini. Spektrum frekuensi yang digunakan oleh media-media televisi tersebut
adalah sumber daya milik publik yang dipahami memiliki sifat terbatas. Publik
melalui KPI dan pemerintah memberikan lisensi kepada para pemilik televisi
(public trustee) untuk menggunakannya berlandaskan kepada kepentingan publik[7].
Bisa jadi, publik memang terpedaya
atau mungkin sudah capek hati dengan segala muslihat pengelola media untuk
menutupi penyalahgunaan ini. Ditambah lagi, para pengelola televisi sudah cukup
makan asam garam sehingga semakin lihai untuk berkelit dan memanipulasi celah
aturan agar terlepas dari tuntutan dan hukuman. Di AS sendiri public
trustee model yang mulai diterapkan pada 1960-an akhirnya kandas, dan di akhir
era 80-an digantikan dengan model yang berorientasi kepada televisi sebagai
"free marketplace of ideas"[8].
Model pasar bebas berimplikasi kepada kepemilikan media yang justru semakin
terkonsentrasi dan mempersempit peluang bagi publik untuk mendapatkan akses
terhadap pemanfaatan spektrum frekuensi.
Disadari atau tidak, model pasar
bebas (baca: model propaganda) inilah yang saat ini dipraktikkan oleh
lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia. Celah aturan di dalam UU Penyiaran
(atau memang sengaja dibuat ada celah?) dimanfaatkan untuk mengkonsentrasikan
kepemilikan, mengemas manufacturing consent, dan menempatkan rating sebagai
indikator utama kepentingan publik.
Social Connectivity dan Digital Natives
Model komunikasi (massa) yang menjadi tulang punggung bisnis televisi saat
ini sejatinya memiliki 'cacat' mengacu kepada model induk dari komunikasi itu
sendiri. Induk dari semua model komunikasi, yang dikenal dengan transmission
model, diletakkan dasarnya oleh Shannon dan Weaver pada tahun 1949. Model ini
mensyaratkan bahwa komunikasi adalah proses mengirim dan menerima pesan[9].
Masing-masing pelaku komunikasi berperan sebagai pengirim (sender) sekaligus
penerima (receiver) melalui channel yang bersifat dua arah (interaktif). Apakah
komunikasi yang hanya menempatkan satu pihak sebagai pengirim dan pihak lain
hanya sebagai penerima adalah model sempurna untuk menjawab kebutuhan
berkomunikasi tiap orang sebagai makhluk sosial?
Tampaknya publik khususnya dari generasi “digital natives”[10] tidak puas hanya duduk diam dan menikmati pemenuhan kebutuhan
komunikasi yang disediakan teknologi komunikasi yang ada. Mengacu kepada konsep
technological determinism yang dilontarkan oleh McLuhan, publik bergerak
seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi yang mengarah kepada kesempurnaan
pemenuhan kebutuhan komunikasi[11].
Datangnya internet pun disambut antusias oleh publik karena menawarkan apa yang
kemudian menjadi paham baru di era komunikasi elektronik ini: informationalism
dan connectivism. Keduanya tengah bergulir membangun peradaban baru di atas
pondasi network society.
Informationalism adalah konsep yang
dikembangkan oleh Manuel Castells sebagai paham yang menggantikan
industrialism. Paham ini beranjak dari perkembangan kapasitas manusia di dalam
memroses informasi dan komunikasi yang terjadi karena adanya temuan-temuan baru
dan berbagai implementasi dari microelektronik, software, dan rekayasa
genetika. Paham ini tidak lagi mendasarkan diri kepada produksi barang-barang,
tetapi kepada jasa-jasa dan pekerjaan berbasis pengetahuan, memperjualbelikan
dan mengekstrasi nilai dari pengetahuan, dan menyebarluaskan informasi melalui
masyarakat jaringan (network society)[12].
Sementara connectivism adalah konsep
yang disodorkan oleh George Siemens (2005) sebagai perluasan proses belajar
manusia untuk mendapatkan pengetahuan melalui jaringan informal antar individu dan
dari informasi digital yang disediakan secara online. Belajar adalah proses
menghubungkan simpul-simpul (nodes) atau sumber-sumber informasi di dalam
jaringan dan bisa saja tersimpan di dalam mesin yang menyimpan pengetahuan
sebagaimana manusia[13].
Bagaimana Industri televisi ke Depan?
Bagaimana Industri televisi ke Depan?
Social connetivity
adalah ujian bagi televisi sebenarnya. Dominannya peran generasi “digital
natives” akan semakin besar di masa yang tidak lama lagi. Mengacu kepada hasil riset
yang dilakukan oleh Monica Basso, analist dari Gartner Inc., diramalkan digital
natives akan mengambil peran dominan mulai pada 2018[14]. Digitial
natives, seperti diuraikan oleh Urs Gasser dari Harvard’s Berkman
Center, memiliki karakteristik[15]:
-
Berinteraksi
secara global
-
Senantiasa
online
-
Mutiple identity
-
Terbuka
dengan data pribadi
-
Berbudaya
sharing
-
Kreator,
tidak lagi pengguna pasif
-
Terbiasa
memproses informasi
-
Berkolaborasi
dengan sesama atau menjadi aktivis online
-
Belajar
dengan cara browsing
Berikut ini adalah
uraian diambil dari hasil riset Basso,
tentang apa saja yang harus dilakukan agar industri televisi tetap
unggul menyongsong masa tersebut adalah[16]:
- Menerima gelombang perubahan yang tengah menjelang dan segera menemukan struktur (khususnya produksi) yang bisa mengeksploitasi digital natives.
- Memaksimalkan peran social networks, mempelajari bagaimana konstruksinya untuk bisa dimanfaatkan.
- Memperkuat kapabilitas sumber-sumber daya eksternal seperti social networking dan dunia virtual.
- Memahami implikasi dari perilaku personal secara online dan interaksi dengan pihak-pihak lain terhadap para karyawan, basis pemirsa, dan khalayak secara keseluruhan.
- Berinvestasi kepada mekanisme yang lebih fokus kepada semua influencers yang memengaruhi langsung terhadap bisnis dan reputasi industri televisi.
- Merancang ulang (redesign) proses bisnis dan struktur organisasi yang sesuai dengan perubahan harapan dan kapabilitas digital natives.
- Menyesuaikan strategi IT untuk mengantisipasi pertumbuhan keragaman (multiplatform) melalui pendekatan pengaturan yang beragam
[1] McQuail, D. (2005) McQuail's Mass Communication Theory. (5th edition). London: Sage Publications.
[2] Herman, Edward S dan Noam Chomsky, 1988, Manufacturing Consent: A Propaganda Model, Pantheon Books, http://www.thirdworldtraveler.com/Herman%20/Manufac_Consent_Prop_Model.html, 19 Desember 2015
[3] McCombs, M.E., DL Shaw, 1972, The Agenda-Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly, 36 (Summer), 176-187.
[4] Herman, Edward S dan Noam Chomsky, 1988, op cit.
[5] Patters, Reiza, 20 Jun 2015, Media dan Pers di Indonesia: Intervensi Modal dan Majikan dalam Regulasi dan Pemberitaannya, http://www.konfrontasi.com/content/opini/media-dan-pers-di-indonesia-intervensi-modal-dan-majikan-dalam-regulasi-dan#.dpuf, 14 Desember 2015
[6] Perbedaan ini mengacu kepada uraian Noam Chomsky yang membandingkan nasib bukunya yang diterbitkan oleh penerbit yang terafiliasi dengan Warner Communications Inc. dengan buku Satanic Versesnya Salman Rushdie yang dilarang oleh penguasa Iran, Chomsky, Noam, 15 Maret 1989, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, transkrip oleh William Greene, University of Winconsin, http://chomsky.info/19890315/, 22 Desember 2015.
[7] The Public Interest Standard in Television Broadcasting, http://govinfo.library.unt.edu/piac/novmtg/pubint.htm, 22 Desember 2015
[8] Krotoszynski, Ronald J. Jr., 1997, The Inevitable Wasteland: Why the Public Trustee Model of Broadcast Television Regulation Must Fail, Michigan Law Review, Vol. 95, No. 6, 1997, hal. 2101-2138
[9] Shannon, C. E., & Weaver, W, 1949, The mathematical theory of communication. Urbana, Illinois: University of Illinois Press
[10] Istilah ini mengacu kepada sebutan untuk generasi yang lahir setelah adanya internet. Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Marc Prensky, Prensky, Marc (Oktober 2001). "Digital Natives, Digital Immigrants". On the Horizon 9 (5): 1–6.
[11] Mcluhan, Marshall (1962). The Gutenberg Galaxy: The making of Typograhic Man. Toronto: University of Toronto Press.
[12] Castells, Manuel, 2004, Informationalism, Networks, And The Network Society: A Theoretical Blueprint. Di dalam Castells, M. (Ed.), The Network Society: A Cross-Cultural Perspective. Northampton, MA: Edward Elgar.
[13] Siemens, George, 2005, Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal of Instructional Technology & Distance Learning, 2(1). Retrieved March 4, 2015, from http://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm, 23 Desember 2015
[14] Basso, Monica, 28 Juli 2008, 2018: Digital Natives Grow Up and Rule the World, Gartner, Inc. https://search.wikileaks.org/gifiles/attach/2/2233_2018_digital_natives_grow_up_159053.pdf, 22 Desember 2015
[15] Owyang, Jeremiah, 14 Mei 2009, What Companies Should Know About Digital Natives, http://www.web-strategist.com/blog/2009/05/14/what-companies-should-know-about-digital-natives/, 25 Desember 2015
[16] Disesuaikan dari Basso, Monica, op cit.
Comments
Post a Comment