Pertanyaan Ujian Akhir Semester Manajemen Media 2
Ukuran keberhasilan media adalah berapa besar/banyak audience yang
mendapat akses dan mengikuti produk media. Umumnya diukur dengan rating dan
share yang di Indonesia dimonopoli oleh lembaga survei media : AC Nielsen corp.
Jelaskan mengenai hal ini dilihat dari proses penyusunan rating dan share
sampai dengan dampak dari sistem ini khususnya dalam konteks televisi, radio,
dan media cetak di Indonesia
Jawab 2
Khalayak yang diperjualbelikan
Sejatinya yang dijual oleh industri
media, khususnya penyiaran, bukanlah content, tetapi rating. Bagi media
penyiaran: tidak ada rating, tidak ada bisnis.
Mengapa demikian?
Content sebagai produk kreatif
memiliki ketetapan utama sebagai ukuran keberhasilan, yakni: dikonsumsi
(ditonton, didengar, dibaca, diakses) khalayak sebanyak-banyaknya. Namun khusus
pada media penyiaran, banyaknya orang yang mengkonsumsi tidak serta-merta
memunculkan transaksi pembelian. Bisnis media berbeda dengan bisnis lain. Jika
pada bisnis lain perhitungan uang masuk (revenue) bisa dilihat cukup
berdasarkan transaksi pembelian produk, namun tidak demikian halnya untuk
produk content media.
Ukuran laku tidaknya produk content
memang ditunjukkan dengan jumlah pemirsa/pendengar/pembaca, namun yang
dinamakan bisnis media prosesnya tidak cukup selesai sampai di sini. Karena
saat seseorang mengkonsumsi content, tidak ada transaksi bisnis (kecuali media
cetak) di antara khalayak dengan media tersebut. Pada media cetak memang
terdapat transaksi pembelian, namun prosesnya juga belum berhenti pada
transaksi ini.
Konsumsi produk media oleh
khalayaknya menghasilkan data yang lazim disebut rating. Rating adalah
prosentase jumlah khalayak yang mengonsumsi suatu content pada saat saat
tertentu relatif terhadap total populasi media tersebut[1].
Dari angka rating bisa diestimasikan berapa orang yang terekspos oleh suatu
iklan yang menempel pada content tersebut. Angka rating bagi industri media
adalah komponen utama yang digunakan untuk menentukan harga iklan atau rate
card. Semakin tinggi angka rating maka harga iklannya semakin mahal. Peluang
meraih keuntungan akan besar apabila stasiun televisi/radio mampu memroduksi
content berating tinggi dengan biaya produksi murah.
Kebanyakan pengiklan bersedia
membayar mahal untuk memasang iklan mereka di content yang memiliki rating
tinggi. Mahalnya harga iklan bukan pertimbangan paling penting bagi pengiklan
berbudget besar. Saat membeli iklan (media buying), mereka lebih mengutamakan
efektivitas pemasangan iklan yang biasa diukur dengan rumus CPRP atau cost per
rating point. Rumus tersebut bisa menggambarkan berapa biaya untuk membayar per
satu persen dari total populasi sasaran yang menonton iklan mereka[2].
Suatu content berating tinggi yang rate cardnya mahal, bisa jadi CPRP-nya lebih
murah dari content lain yang ratingnya lebih rendah. Untuk media cetak penghitungan efektivitas
ini diukur dengan rumus CPM (cost per mile), yakni berapa biayanya untuk
memasang iklan per seribu pembaca[3].
Angka rating didapat melaui survey
terhadap sampel populasi khalayak. Untuk khalayak media penyiaran, survey ini
tidak dilakukan dengan cara wawancara atau menyebar kuesioner, namun
menggunakan perangkat elektronik yang secara otomatis secara harian
menginformasikan aktivitas menonton televisi di rumah-rumah yang dijadikan
sampel. Alat ini disebut people meter. Guna menjaga kredibilitas hasilnya, para
pelaku industri penyiaran di Indonesia saat ini 'sepakat' mengandalkan hasil
survey dari Nielsen, sebuah perusahaan yang memonopoli industri riset pasar
secara internasional.
Rating yang dihasilkan Nielsen saat ini adalah nilai tukar (currency) pengiklan memasang iklan di televisi, radio, maupun media cetak. Sangat jarang ada pengiklan yang secara konsisten mau beriklan pada content yang tidak jelas ratingnya. Itulah mengapa bisnis penyiaran lokal berjalan terseok-seok, bahkan banyak yang gulung tikar. Mereka tidak bisa menunjukkan kepada pengiklan data rating content yang mereka produksi. Entah karena angka ratingnya tidak memadai atau tidak mampu membelinya dari Nielsen.
Rating yang dihasilkan Nielsen saat ini adalah nilai tukar (currency) pengiklan memasang iklan di televisi, radio, maupun media cetak. Sangat jarang ada pengiklan yang secara konsisten mau beriklan pada content yang tidak jelas ratingnya. Itulah mengapa bisnis penyiaran lokal berjalan terseok-seok, bahkan banyak yang gulung tikar. Mereka tidak bisa menunjukkan kepada pengiklan data rating content yang mereka produksi. Entah karena angka ratingnya tidak memadai atau tidak mampu membelinya dari Nielsen.
Sumbernya Ada di Rumah
Perangkat yang disebut people meter,
yang diperkenalkan pertama kali di Eropa tahun 70-an dan mulai digunakan
Nielsen di AS pada tahun 1987, sejauh ini diklaim sebagai perangkat paling
ampuh untuk mendeteksi secara kuantitatif pola konsumsi publik terhadap siaran
televisi dan radio. Alat elektronik berbentuk set-top box tersebut dipasang di
beberapa rumah pemirsa/pendengar, yang dipilih dengan metode random sampling,
sebagai sampel untuk merepresentasikan pola konsumsi terhadap content dari
populasi pemirsa/pendengar secara keseluruhan.
People meter merekam data-data
penggunaan televisi/radio di rumah tangga tersebut yang meliputi siapa yang
menonton/mendengar, apa programnya, dan kapan menonton/mendengarnya. Data yang
terekam ditarik tiap hari melalui saluran telepon untuk diolah oleh Nielsen[4].
Meski banyak pihak, termasuk dari kalangan media sendiri, yang mencoba bersikap
skeptis terhadap people meter, namun sejauh ini industri penyiaran dan
pengiklan masih bertumpu kepada perangkat ini. Dengan people meter Nielsen
mengklaim telah mampu mendeteksi 40 persen pola menonton dari populasi TV di
seluruh dunia[5].
Metode people meter kurang lebih sama
dengan metode quick count yang memang terbukti akurat untuk memrediksi pola
pemilih di dalam pemilu. Metodologi sampling acak seperti ini bertumpu kepada
akurasi sampel dari populasi yang diambil. Semakin akurat sampel maka
hasilnya akan semakin mencerminkan perilaku konsumsi pada keseluruhan populasi.
Pentingkah rating
bagi pemirsa?
Sulit menjawab pertanyaan tersebut
selain satu hal yang harus dipahami bahwa rating diukur bukan untuk kepentingan
pemirsa. Rating tidak untuk dikonsumsi pemirsa, karena memang pemirsa tidak
membutuhkannya. Kalaupun pemirsa ingin tahu rating acara yang digemarinya,
mungkin ia ingin tahu acara itu umurnya masih panjang atau sebentar lagi
hilang. Kalau acara itu ratingnya masih tinggi, bolehlah ia berlega hati.
Kondisi ini bisa dianalogikan seperti
peternak memelihara sapi di kandang. Secara berkala peternak memanggil mantri
hewan untuk mengukur berat, tinggi, dan panjang sapi. Hal itu ia lakukan bukan
untuk kepentingan si sapi, tapi untuk kepentingan si peternak dan konsumen
daging sapi. Angka-angka yang didapat dari hasil pengukuran tersebut tidak akan
ditunjukkan kepada sapi. Kalaupun sapi mengintip, mungkin ia ingin tahu umurnya
masih panjang atau sebentar lagi masuk rumah potong.
Tugas utama untuk si peternak adalah
melakukan berbagai cara agar sapi itu besar dan gemuk. Bagaimana meramu
formulasi dan pola makan si sapi agar cepat mencapai berat badan yang
diharapkan. Berapa kali sehari dikasih makan? Kapan waktu yang paling baik?
Cukupkah hanya dengan rumput? Apakah perlu dopping? Atau diglonggom?
Pertanyaan-pertanyaan serupa juga
menjadi beban para pelaku industri televisi. Tontonan seperti apa yang bisa
meraih rating tinggi dengan cepat? Sinetron? Reality show? Infotainment? Berapa
kali sehari? Suplemennya apa? Tawa? Air mata? Glamour? Sensualitas?
Berikut ini adalah
karikatur-karikatur yang dibuat oleh komikus Arham Kendari sebagai gambaran
bagaimana para pelaku industri televisi Indonesia membuat formulasi acara
unggulan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Gambar: Karikatur-karikatur yang menggambarkan content
televisi Indonesia[6]
Gambaran di dalam karikatur di atas
setali tiga uang dengan hasil temuan KPI yang melakukan survey indeks kualitas
program siaran televisi. Survey yang dilakukan di sembilan kota di Indonesia
dengan melibatkan sembilan perguruan tinggi ternama, mendapati banyak program
siaran televisi yang masih kurang berkualitas, sebut saja sinetron,
infotainment, variety show dan program anak. Grafik berikut menunjukkan hasil
survey selama empat kali selama tahun
2015. Nilai
empat adalah syarat bahwa acara memiliki kualitas baik.
Grafik: kualitas program televisi[7]
Ketua KPI pusat, Idy Muzayyad,
menengarai adanya kecenderungan bahwa rating telah menjadi tuhannya media,
sehingga penyajian konten seringkali meminggirkan aspek kualitas dan positive
impact bagi public[8]. Menyikapi
hasil riset KPI, presiden Jokowi menganggap perlu memanggil para petinggi
stasiun televisi jaringan nasional untuk menyampaikan apa yang menjadi
penilaian publik terhadap kebanyakan content televisi. Di depan para petinggi
tersebut Jokowi mengatakan:
"Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif
ketika media juga hanya mengejar rating. Dibandingkan memandu publik untuk
meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif."[9]
Meskipun hasil survey KPI memiliki
pijakan ilmiah yang cukup kuat, namun perannya sebatas memberikan keseimbangan
wacana bagi publik dan tidak proporsional untuk mengkonfrontir survey Nielsen.
Masing-masing menggunakan indikator-indikator penelitian yang relatif berbeda.
Agus Nurudin, managing director Nielsen Indonesia, menegaskan bahwa riset yang
dilakukan oleh lembaganya hanya mengukur kuantitas penonton. Nielsen hanya
mengambil data tentang gambar apa yang dilihat bukan bagaimana dan seperti apa
isi gambar tersebut[10].
Tampaknya Agus Nurudin tidak seperti beberapa petinggi programing stasiun
televisi yang sampai hati untuk mengatakan bahwa kebanyakan program yang
mendapatkan apresiasi dari segi kualitas, ratingnya tidak 'ngangkat'.
Saat ini hampir mustahil untuk
meminta televisi berhenti mengejar rating karena sama saja dengan meminta
televisi berhenti berbisnis. Masalah rating Nielsen bukanlah pada ukuran-ukuran
apa yang tersaji, namun justru pada ukuran-ukuran apa tidak disajikan. Padahal
ukuran-ukuran yang tak tersaji melalui people meter tersebut, jika diabaikan,
berpotensi mengancam keberlangsungan hidup industri penyiaran di masa datang.
Pemirsa pindah televisi pun jengah
Penggunaan people meter untuk
menghitung viewership televisi dan listenership radio memiliki keterbatasan.
Pola konsumsi yang mereka ukur dengan people meter adalah pola konsumsi
terhadap pesawat televisi dan radio di dalam rumah tangga (household).
Data-data viewership/listenership terhadap content di luar siaran free to air
melalui spektrum frekuensi televisi/radio dan konsumsi di luar rumah tidak
tersajikan, kecuali ada pihak yang memesannya secara khusus (dengan harga tidak
murah).
"People meter diperkenalkan di tahun 1970-an saat orang-orang duduk di ruang keluarga menonton satu pesawat televisi. Seberapa relevan hal itu sekarang?"
Pernyataan bernada skeptis tersebut
adalah komentar president of research and media development NBC Universal, Alan
Wurtzel, tentang people meter yang hingga kini masih digunakan di AS[11]. Alan Wurtzel
menambahkan bahwa televisi tidak bisa menjual content yang tidak bisa diukur.
Masalahnya, Nielsen sebagai currency yang digunakan oleh industri televisi saat
ini, tidak bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi pada pola
konsumsi[12]. Ketidakmampuan
people meter mengikuti tren konsumsi televisi saat ini, membuat CNBC menyatakan
berhenti menggunakan data rating Nielsen terhitung sejak Januari 2015 lalu.
Alasannya karena Nielsen tidak bisa menyajikan rating kepemirsaan di luar
rumah, yang justru lebih mereka butuhkan saat ini[13].
Nielsen yang mulai menancapkan
ratingnya di AS tahun 1950-an, selama bertahun-tahun telah dipakai sebagai
"kambing hitam" oleh industri siaran televisi untuk menangkis segala
kritik terhadap content-content yang mereka tayangkan. Namun kini, di saat
rata-rata rating televisi di AS terus mengalami penurunan (rating rata-rata di
primetime plus NBC hingga minggu ke-27 tahun 2015 mengalami penurunan sepuluh
persen dibanding minggu yang sama setahun sebelumnya[14],
masih mampukah people meter menunjukkan tajinya?
People meter yang digunakan saat ini
bisa dibilang sudah ketinggalan jaman. Di dalam rumahpun, sumber dari mana
angka rating mengalir, telah terjadi perubahan yang semakin meminggirkan peran
people meter dalam mendeteksi pola konsumsi media. Beberapa peneliti telah
mendapati perubahan gradual terkait pola konsumsi televisi di rumah-rumah.
Budaya menonton televisi bersama-sama di ruang keluarga telah bergeser ke
budaya kamar tidur di mana tiap anggota keluarga mengkonsumsi media mereka
masing-masing secara individual. Tren ini paling kencang menerpa anak-anak,
remaja, dan orang tua usia muda yang didapati memiliki satu atau lebih
perangkat media untuk mereka sendiri di luar televisi untuk keluarga[15].
Pergeseran ini merupakan lanjutan
tren kepemilikan media televisi di rumah-rumah dari satu perangkat pada
beberapa dekade lalu, menjadi lebih dari satu (multiplication) perangkat.
Multiplication ini ditopang oleh semakin murahnya harga perangkat media,
pertumbuhan perangkat mobile, inovasi dalam hal desain dan marketing dari
teknologi saat ini yang terus berlanjut, dan diversifikasi format media yang
mendorong konsumen merasa harus melakukan multiplication[16].
Pergeseran perilaku bermedia yang
terjadi, membuat beberapa pengiklan mulai meragukan apakah angka rating
televisi yang tersaji saat ini menunjukkan pola konsumsi media dari seluruh
populasi yang sebenarnya. President of Turner Broadcasting ad sales, Donna
Speciale meyakini bahwa hilangnya sebagian angka rating bukan karena mereka
berhenti mengkonsumsi content. Orang-orang tersebut hanya tidak berada lagi di
tempat bermedia seperti sebelumnya. Kepemirsaan secara mobile tengah booming,
tapi Nielsen tak kunjung bisa menyajikannya, meski berkali-kali menyatakan
komitmen untuk itu[17].
Perubahan pola konsumsi televisi
akibat booming media baru memicu banyak pengiklan mulai bermigrasi dengan
melakukan placement di media-media yang baru muncul tersebut. Media baru
memiliki penghitungan real-time data (bukan sampling) yang mulai menuai
kepercayaan dari para pengiklan. Gejala yang sama juga terjadi di Indonesia.
Mengutip dari temuan ATVSI, selama Kurun waktu 2010 hingga 2015, lima persen
iklan media televisi telah berpindah ke media sosial[18].
Jebakan angka
share
Tren penurunan angka rating membuat
banyak pengelola media saat ini yang berfokus mengejar angka share. Share
adalah angka prosentase yang dihasilkan people meter untuk mengukur kepemirsaan
terhadap suatu content pada saat tertentu relatif terhadap jumlah pemirsa pada
saat yang sama[19]. Angka
share bisa digunakan untuk mengukur kekuatan daya saing content relatif
terhadap content di saluran tv/radio lain di saat yang sama. Namun perhatian
terhadap angka share semata akan membuat media cenderung menutup mata terhadap
berkurangnya total populasi yang mengonsumsi content mereka. Bisa diibaratkan
antar stasiun bertempur memperebutkan jatah kue, namun sebenarnya jatah kue
yang diperebutkan semakin berkurang. Semakin berkurang jatah kue, bukannya
membuat mereka tersadar untuk bertindak lebih cerdas dan kreatif, namun justru
semakin memicu persaingan menjadi lebih ketat. Kondisi ini membuat iklim bisnis
media mengarah kepada persaingan yang tidak menyehatkan baik bagi pemirsa
maupun industri media itu sendiri.
Menuju kepemirsaan mutiplatform
Nielsen harus
secepatnya mengembangkan sistem penghitungan kepemirsaan berbasiskan
mutiplatform. Content-content berkualitas yang lebih menghargai keragaman dan kecerdasan
publik yang selama ini kurang mendapat tempat di layar televisi, namun diyakini
memiliki kalangan pemirsa yang cenderung mengonsumsi media platform lain
seperti internet, sudah saatnya diproduksi dengan serius oleh stasiun
televisi dan disebarkan melalui media
lain dan diperhitungkan kepemirsaannya agar pengiklan berkenan untuk memasang
iklan mereka secara multiplaform juga. Sistem penyebaran melalui over-the-top
(OTT)[20],
distribusi content melalui internet, perlu dimulai lebih serius, karena
keberhasilan industri content di masa depan tergantung dari kesiapan mereka
megembangkan sistem ini.
“Katakanlah anda memiliki sebuah acara dengan 80 persen pemirsa menganggapnya bagus. Mereka mungkin menontonnya, tetapi tidak ada pemirsa yang menganggapnya sangat bagus dan menjadikannya acara favorit mereka. Di sisi lain, anda memiliki acara yang disukai oleh 30 persen pemirsa.Para pemirsa tersebut tak ada yang melewatkan setiap episodenya. Well, di dunia on-demand seperti saat ini, acara yang kedualah yang lebih bernilai.”
[1] Baker, Frank, 2012, What is a rating/share, http://www.frankwbaker.com/ratingshare.htm, 22 Desember 2015
[2] Clow, Kenneth E dan Donald Baack, 2007, Integrated Advertising, Promotion, and Marketing Communications, Prentice Hall, hal. 238
[3] Kennan, Mark, Demand Media, 2016, How Do You Calculate a CPM? http://smallbusiness.chron.com/calculate-cpm-787.html, 23 Desember 2015
[4] Webster, James G, 2008, People Meter, Northwestern University, http://webster.soc.northwestern.edu/pubs/Webster%20(2008)%20People-Meter.pdf
[5] Nielsen, 2015, Television, http://www.nielsen.com/us/en/solutions/measurement/television.html
[6] Kendari, Arham dalam Erina Wardoyo, 24 Juli 2015, Komik sindiran tayangan televisi Indonesia, menohok! https://m.brilio.net/news/7-konmik-sindiran-tayangan-televisi-indonesia-menohok-150724i.html, 20 Desember 2015
[7] Komisi Penyiaran Indonesia, 30 November 2015, Survey KPI ke-IV: Masyarakat Apresiasi Program Budaya dan Religi di Televisi, http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/33109-survey-kpi-ke-iv-masyarakat-apresiasi-program-budaya-dan-religi-di-televisi, 20 Desember 2015
[8] Islampos, 25 Agustus 2015, KPI: Media Cenderung Tuhankan Rating, https://www.islampos.com/kpi-media-cenderung-tuhankan-rating-207052/, 20 Desember 2015
[9] Ratya, Mega Putra l, Jumat 21 Aug 2015, Jokowi Panggil Para Petinggi TV Nasional, Bahas Soal Kejar Rating, detikNews, http://m.detik.com/news/berita/2997866/jokowi-panggil-para-petinggi-tv-nasional-bahas-soal-kejar-rating, 20 Desember 2015
[10] Utomo, Wisnu Prasetya, 13 September 2015, Rating Televisi Hanya Mengedepankan Kuantitas, http://www.remotivi.or.id/kabar/215/Rating-Televisi-Hanya-Mengedepankan-Kuantitas, 20 Desember 2015
[11] Poggi, Jeanine, 8 Desember 2014, Nielsen at a Tipping Point? Accelerating Change Confronts Methodical Researchers: Viewers Falling Out of Nielsen's Core Competency: Live TV, http://adage.com/article/media/nielsen-struggles-media-change/296054/, 19 Desember 2015
[12] Crupi, Anthony, 14 April 2015, 'If You Can't Measure It, You Can't Sell It'
Lack of a Fully Functional Mobile-TV Ratings System Squeezes Profits, http://adage.com/article/digital/lack-functional-mobile-tv-ratings-system-squeezes-profits/298000/, 21 Desember 2015
[13] Flint, Joe, Wall Street Journal, 6 Januari 2015, CNBC to Stop Using Nielsen for Ratings Business, http://www.wsj.com/articles/cnbc-to-stop-using-nielsen-for-ratings-1420520556, 21 Desember 2015
[14] Crupi, Anthony, 14 April 2015, op cit.
[15] Livingstone, Sonia, 2007, From family television to bedroom culture:
young people's media at home, dalam Devereux, Eoin, (ed.), Media studies: key issues and debates. London, UK: SAGE Publications, hal. 302-321.
[16] Livingstone, Sonia, ibid.
[17] Crupi, Anthony, 14 April 2015, op cit.
[18] Ishadi SK, 17 November 2015, The Change of The Mass Media Paradigm; Leave "Conventional Media", Go To "Emerging Social Media".
[19] Baker, Frank, 2012, op cit.
[20] Patel, Sahil, 7 Juli 2015, WTF is OTT? http://digiday.com/platforms/what-is-over-the-top-ott/, 27 Desember 2015
[21] Boluk, Liam, 27 Mei 2015, 7 Deadly Sins: Where Hollywood Wrong about The Future of TV, http://redef.com/original/7-deadly-sins-where-hollywood-is-wrong-about-the-future-of-tv, 27 Desember 2015
Comments
Post a Comment