Skip to main content

Ada Apa dengan Rating?



Pertanyaan Ujian Akhir Semester Manajemen Media 2
Ukuran keberhasilan media adalah berapa besar/banyak audience yang mendapat akses dan mengikuti produk media. Umumnya diukur dengan rating dan share yang di Indonesia dimonopoli oleh lembaga survei media : AC Nielsen corp. Jelaskan mengenai hal ini dilihat dari proses penyusunan rating dan share sampai dengan dampak dari sistem ini khususnya dalam konteks televisi, radio, dan media cetak di Indonesia

Jawab 2

Khalayak yang diperjualbelikan
Sejatinya yang dijual oleh industri media, khususnya penyiaran, bukanlah content, tetapi rating. Bagi media penyiaran: tidak ada rating, tidak ada bisnis.
Mengapa demikian?
Content sebagai produk kreatif memiliki ketetapan utama sebagai ukuran keberhasilan, yakni: dikonsumsi (ditonton, didengar, dibaca, diakses) khalayak sebanyak-banyaknya. Namun khusus pada media penyiaran, banyaknya orang yang mengkonsumsi tidak serta-merta memunculkan transaksi pembelian. Bisnis media berbeda dengan bisnis lain. Jika pada bisnis lain perhitungan uang masuk (revenue) bisa dilihat cukup berdasarkan transaksi pembelian produk, namun tidak demikian halnya untuk produk content media.
Ukuran laku tidaknya produk content memang ditunjukkan dengan jumlah pemirsa/pendengar/pembaca, namun yang dinamakan bisnis media prosesnya tidak cukup selesai sampai di sini. Karena saat seseorang mengkonsumsi content, tidak ada transaksi bisnis (kecuali media cetak) di antara khalayak dengan media tersebut. Pada media cetak memang terdapat transaksi pembelian, namun prosesnya juga belum berhenti pada transaksi ini.
Konsumsi produk media oleh khalayaknya menghasilkan data yang lazim disebut rating. Rating adalah prosentase jumlah khalayak yang mengonsumsi suatu content pada saat saat tertentu relatif terhadap total populasi media tersebut[1]. Dari angka rating bisa diestimasikan berapa orang yang terekspos oleh suatu iklan yang menempel pada content tersebut. Angka rating bagi industri media adalah komponen utama yang digunakan untuk menentukan harga iklan atau rate card. Semakin tinggi angka rating maka harga iklannya semakin mahal. Peluang meraih keuntungan akan besar apabila stasiun televisi/radio mampu memroduksi content  berating tinggi dengan biaya produksi murah.
Kebanyakan pengiklan bersedia membayar mahal untuk memasang iklan mereka di content yang memiliki rating tinggi. Mahalnya harga iklan bukan pertimbangan paling penting bagi pengiklan berbudget besar. Saat membeli iklan (media buying), mereka lebih mengutamakan efektivitas pemasangan iklan yang biasa diukur dengan rumus CPRP atau cost per rating point. Rumus tersebut bisa menggambarkan berapa biaya untuk membayar per satu persen dari total populasi sasaran yang menonton iklan mereka[2]. Suatu content berating tinggi yang rate cardnya mahal, bisa jadi CPRP-nya lebih murah dari content lain yang ratingnya lebih rendah.  Untuk media cetak penghitungan efektivitas ini diukur dengan rumus CPM (cost per mile), yakni berapa biayanya untuk memasang iklan per seribu pembaca[3].
Angka rating didapat melaui survey terhadap sampel populasi khalayak. Untuk khalayak media penyiaran, survey ini tidak dilakukan dengan cara wawancara atau menyebar kuesioner, namun menggunakan perangkat elektronik yang secara otomatis secara harian menginformasikan aktivitas menonton televisi di rumah-rumah yang dijadikan sampel. Alat ini disebut people meter. Guna menjaga kredibilitas hasilnya, para pelaku industri penyiaran di Indonesia saat ini 'sepakat' mengandalkan hasil survey dari Nielsen, sebuah perusahaan yang memonopoli industri riset pasar secara internasional.

Rating yang dihasilkan Nielsen saat ini adalah nilai tukar (currency) pengiklan memasang iklan di televisi, radio, maupun media cetak. Sangat jarang ada pengiklan yang secara konsisten mau beriklan pada content yang tidak jelas ratingnya. Itulah mengapa bisnis penyiaran lokal berjalan terseok-seok, bahkan banyak yang gulung tikar. Mereka tidak bisa menunjukkan kepada pengiklan data rating content yang mereka produksi. Entah karena angka ratingnya tidak memadai atau tidak mampu membelinya dari Nielsen.

Sumbernya Ada di Rumah
Perangkat yang disebut people meter, yang diperkenalkan pertama kali di Eropa tahun 70-an dan mulai digunakan Nielsen di AS pada tahun 1987, sejauh ini diklaim sebagai perangkat paling ampuh untuk mendeteksi secara kuantitatif pola konsumsi publik terhadap siaran televisi dan radio. Alat elektronik berbentuk set-top box tersebut dipasang di beberapa rumah pemirsa/pendengar, yang dipilih dengan metode random sampling, sebagai sampel untuk merepresentasikan pola konsumsi terhadap content dari populasi pemirsa/pendengar secara keseluruhan.
People meter merekam data-data penggunaan televisi/radio di rumah tangga tersebut yang meliputi siapa yang menonton/mendengar, apa programnya, dan kapan menonton/mendengarnya. Data yang terekam ditarik tiap hari melalui saluran telepon untuk diolah oleh Nielsen[4]. Meski banyak pihak, termasuk dari kalangan media sendiri, yang mencoba bersikap skeptis terhadap people meter, namun sejauh ini industri penyiaran dan pengiklan masih bertumpu kepada perangkat ini. Dengan people meter Nielsen mengklaim telah mampu mendeteksi 40 persen pola menonton dari populasi TV di seluruh dunia[5].
Metode people meter kurang lebih sama dengan metode quick count yang memang terbukti akurat untuk memrediksi pola pemilih di dalam pemilu. Metodologi sampling acak seperti ini bertumpu kepada akurasi sampel dari populasi yang diambil. Semakin akurat sampel maka hasilnya akan semakin mencerminkan perilaku konsumsi pada keseluruhan populasi.

Pentingkah rating bagi pemirsa?
Sulit menjawab pertanyaan tersebut selain satu hal yang harus dipahami bahwa rating diukur bukan untuk kepentingan pemirsa. Rating tidak untuk dikonsumsi pemirsa, karena memang pemirsa tidak membutuhkannya. Kalaupun pemirsa ingin tahu rating acara yang digemarinya, mungkin ia ingin tahu acara itu umurnya masih panjang atau sebentar lagi hilang. Kalau acara itu ratingnya masih tinggi, bolehlah ia berlega hati.
Kondisi ini bisa dianalogikan seperti peternak memelihara sapi di kandang. Secara berkala peternak memanggil mantri hewan untuk mengukur berat, tinggi, dan panjang sapi. Hal itu ia lakukan bukan untuk kepentingan si sapi, tapi untuk kepentingan si peternak dan konsumen daging sapi. Angka-angka yang didapat dari hasil pengukuran tersebut tidak akan ditunjukkan kepada sapi. Kalaupun sapi mengintip, mungkin ia ingin tahu umurnya masih panjang atau sebentar lagi masuk rumah potong.
Tugas utama untuk si peternak adalah melakukan berbagai cara agar sapi itu besar dan gemuk. Bagaimana meramu formulasi dan pola makan si sapi agar cepat mencapai berat badan yang diharapkan. Berapa kali sehari dikasih makan? Kapan waktu yang paling baik? Cukupkah hanya dengan rumput? Apakah perlu dopping? Atau diglonggom?
Pertanyaan-pertanyaan serupa juga menjadi beban para pelaku industri televisi. Tontonan seperti apa yang bisa meraih rating tinggi dengan cepat? Sinetron? Reality show? Infotainment? Berapa kali sehari? Suplemennya apa? Tawa? Air mata? Glamour? Sensualitas?
Berikut ini adalah karikatur-karikatur yang dibuat oleh komikus Arham Kendari sebagai gambaran bagaimana para pelaku industri televisi Indonesia membuat formulasi acara unggulan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Gambar: Karikatur-karikatur yang menggambarkan content televisi Indonesia[6]

Gambaran di dalam karikatur di atas setali tiga uang dengan hasil temuan KPI yang melakukan survey indeks kualitas program siaran televisi. Survey yang dilakukan di sembilan kota di Indonesia dengan melibatkan sembilan perguruan tinggi ternama, mendapati banyak program siaran televisi yang masih kurang berkualitas, sebut saja sinetron, infotainment, variety show dan program anak. Grafik berikut menunjukkan hasil survey selama empat kali selama tahun 2015. Nilai empat adalah syarat bahwa acara memiliki kualitas baik.
Grafik: kualitas program televisi[7]



Ketua KPI pusat, Idy Muzayyad, menengarai adanya kecenderungan bahwa rating telah menjadi tuhannya media, sehingga penyajian konten seringkali meminggirkan aspek kualitas dan positive impact bagi public[8]. Menyikapi hasil riset KPI, presiden Jokowi menganggap perlu memanggil para petinggi stasiun televisi jaringan nasional untuk menyampaikan apa yang menjadi penilaian publik terhadap kebanyakan content televisi. Di depan para petinggi tersebut Jokowi mengatakan:
"Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating. Dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif."[9]

Meskipun hasil survey KPI memiliki pijakan ilmiah yang cukup kuat, namun perannya sebatas memberikan keseimbangan wacana bagi publik dan tidak proporsional untuk mengkonfrontir survey Nielsen. Masing-masing menggunakan indikator-indikator penelitian yang relatif berbeda. Agus Nurudin, managing director Nielsen Indonesia, menegaskan bahwa riset yang dilakukan oleh lembaganya hanya mengukur kuantitas penonton. Nielsen hanya mengambil data tentang gambar apa yang dilihat bukan bagaimana dan seperti apa isi gambar tersebut[10]. Tampaknya Agus Nurudin tidak seperti beberapa petinggi programing stasiun televisi yang sampai hati untuk mengatakan bahwa kebanyakan program yang mendapatkan apresiasi dari segi kualitas, ratingnya tidak 'ngangkat'.
Saat ini hampir mustahil untuk meminta televisi berhenti mengejar rating karena sama saja dengan meminta televisi berhenti berbisnis. Masalah rating Nielsen bukanlah pada ukuran-ukuran apa yang tersaji, namun justru pada ukuran-ukuran apa tidak disajikan. Padahal ukuran-ukuran yang tak tersaji melalui people meter tersebut, jika diabaikan, berpotensi mengancam keberlangsungan hidup industri penyiaran di masa datang.

Pemirsa pindah televisi pun jengah
Penggunaan people meter untuk menghitung viewership televisi dan listenership radio memiliki keterbatasan. Pola konsumsi yang mereka ukur dengan people meter adalah pola konsumsi terhadap pesawat televisi dan radio di dalam  rumah tangga (household). Data-data viewership/listenership terhadap content di luar siaran free to air melalui spektrum frekuensi televisi/radio dan konsumsi di luar rumah tidak tersajikan, kecuali ada pihak yang memesannya secara khusus (dengan harga tidak murah).

"People meter diperkenalkan di tahun 1970-an saat orang-orang duduk di ruang keluarga menonton satu pesawat televisi. Seberapa relevan hal itu sekarang?"

Pernyataan bernada skeptis tersebut adalah komentar president of research and media development NBC Universal, Alan Wurtzel, tentang people meter yang hingga kini masih digunakan di AS[11]. Alan Wurtzel menambahkan bahwa televisi tidak bisa menjual content yang tidak bisa diukur. Masalahnya, Nielsen sebagai currency yang digunakan oleh industri televisi saat ini, tidak bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi pada pola konsumsi[12]. Ketidakmampuan people meter mengikuti tren konsumsi televisi saat ini, membuat CNBC menyatakan berhenti menggunakan data rating Nielsen terhitung sejak Januari 2015 lalu. Alasannya karena Nielsen tidak bisa menyajikan rating kepemirsaan di luar rumah, yang justru lebih mereka butuhkan saat ini[13].
Nielsen yang mulai menancapkan ratingnya di AS tahun 1950-an, selama bertahun-tahun telah dipakai sebagai "kambing hitam" oleh industri siaran televisi untuk menangkis segala kritik terhadap content-content yang mereka tayangkan. Namun kini, di saat rata-rata rating televisi di AS terus mengalami penurunan (rating rata-rata di primetime plus NBC hingga minggu ke-27 tahun 2015 mengalami penurunan sepuluh persen dibanding minggu yang sama setahun sebelumnya[14], masih mampukah people meter menunjukkan tajinya?
People meter yang digunakan saat ini bisa dibilang sudah ketinggalan jaman. Di dalam rumahpun, sumber dari mana angka rating mengalir, telah terjadi perubahan yang semakin meminggirkan peran people meter dalam mendeteksi pola konsumsi media. Beberapa peneliti telah mendapati perubahan gradual terkait pola konsumsi televisi di rumah-rumah. Budaya menonton televisi bersama-sama di ruang keluarga telah bergeser ke budaya kamar tidur di mana tiap anggota keluarga mengkonsumsi media mereka masing-masing secara individual. Tren ini paling kencang menerpa anak-anak, remaja, dan orang tua usia muda yang didapati memiliki satu atau lebih perangkat media untuk mereka sendiri di luar televisi untuk keluarga[15].
Pergeseran ini merupakan lanjutan tren kepemilikan media televisi di rumah-rumah dari satu perangkat pada beberapa dekade lalu, menjadi lebih dari satu (multiplication) perangkat. Multiplication ini ditopang oleh semakin murahnya harga perangkat media, pertumbuhan perangkat mobile, inovasi dalam hal desain dan marketing dari teknologi saat ini yang terus berlanjut, dan diversifikasi format media yang mendorong konsumen merasa harus melakukan multiplication[16].
Pergeseran perilaku bermedia yang terjadi, membuat beberapa pengiklan mulai meragukan apakah angka rating televisi yang tersaji saat ini menunjukkan pola konsumsi media dari seluruh populasi yang sebenarnya. President of Turner Broadcasting ad sales, Donna Speciale meyakini bahwa hilangnya sebagian angka rating bukan karena mereka berhenti mengkonsumsi content. Orang-orang tersebut hanya tidak berada lagi di tempat bermedia seperti sebelumnya. Kepemirsaan secara mobile tengah booming, tapi Nielsen tak kunjung bisa menyajikannya, meski berkali-kali menyatakan komitmen untuk itu[17].
Perubahan pola konsumsi televisi akibat booming media baru memicu banyak pengiklan mulai bermigrasi dengan melakukan placement di media-media yang baru muncul tersebut. Media baru memiliki penghitungan real-time data (bukan sampling) yang mulai menuai kepercayaan dari para pengiklan. Gejala yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip dari temuan ATVSI, selama Kurun waktu 2010 hingga 2015, lima persen iklan media televisi telah berpindah ke media sosial[18].

Jebakan angka share
Tren penurunan angka rating membuat banyak pengelola media saat ini yang berfokus mengejar angka share. Share adalah angka prosentase yang dihasilkan people meter untuk mengukur kepemirsaan terhadap suatu content pada saat tertentu relatif terhadap jumlah pemirsa pada saat yang sama[19]. Angka share bisa digunakan untuk mengukur kekuatan daya saing content relatif terhadap content di saluran tv/radio lain di saat yang sama. Namun perhatian terhadap angka share semata akan membuat media cenderung menutup mata terhadap berkurangnya total populasi yang mengonsumsi content mereka. Bisa diibaratkan antar stasiun bertempur memperebutkan jatah kue, namun sebenarnya jatah kue yang diperebutkan semakin berkurang. Semakin berkurang jatah kue, bukannya membuat mereka tersadar untuk bertindak lebih cerdas dan kreatif, namun justru semakin memicu persaingan menjadi lebih ketat. Kondisi ini membuat iklim bisnis media mengarah kepada persaingan yang tidak menyehatkan baik bagi pemirsa maupun industri media itu sendiri.

Menuju kepemirsaan mutiplatform
Nielsen harus secepatnya mengembangkan sistem penghitungan kepemirsaan berbasiskan mutiplatform. Content-content berkualitas yang lebih menghargai keragaman dan kecerdasan publik yang selama ini kurang mendapat tempat di layar televisi, namun diyakini memiliki kalangan pemirsa yang cenderung mengonsumsi media platform lain seperti internet, sudah saatnya diproduksi dengan serius oleh stasiun televisi  dan disebarkan melalui media lain dan diperhitungkan kepemirsaannya agar pengiklan berkenan untuk memasang iklan mereka secara multiplaform juga. Sistem penyebaran melalui over-the-top (OTT)[20], distribusi content melalui internet, perlu dimulai lebih serius, karena keberhasilan industri content di masa depan tergantung dari kesiapan mereka megembangkan sistem ini.
Kutipan pernyataan dari boss Amazon Studios Roy Price berikut sangat patut dipertimbangkan[21]:



“Katakanlah anda memiliki sebuah acara dengan 80 persen pemirsa menganggapnya bagus. Mereka mungkin menontonnya, tetapi tidak ada pemirsa yang menganggapnya sangat bagus dan menjadikannya acara favorit mereka. Di sisi lain, anda memiliki acara yang disukai oleh 30 persen pemirsa.Para pemirsa tersebut tak ada yang melewatkan setiap episodenya. Well, di dunia on-demand seperti saat ini, acara yang kedualah yang lebih bernilai.”






[1] Baker, Frank, 2012, What is a rating/share, http://www.frankwbaker.com/ratingshare.htm, 22 Desember 2015
[2] Clow, Kenneth E dan Donald Baack, 2007, Integrated Advertising, Promotion, and Marketing Communications, Prentice Hall, hal. 238
[3] Kennan, Mark, Demand Media, 2016, How Do You Calculate a CPM? http://smallbusiness.chron.com/calculate-cpm-787.html, 23 Desember 2015
[4] Webster, James G, 2008, People Meter, Northwestern University, http://webster.soc.northwestern.edu/pubs/Webster%20(2008)%20People-Meter.pdf
[5] Nielsen, 2015, Television, http://www.nielsen.com/us/en/solutions/measurement/television.html
[6] Kendari, Arham dalam Erina Wardoyo, 24 Juli 2015, Komik sindiran tayangan televisi Indonesia, menohok! https://m.brilio.net/news/7-konmik-sindiran-tayangan-televisi-indonesia-menohok-150724i.html, 20 Desember 2015
[7] Komisi Penyiaran Indonesia, 30 November 2015, Survey KPI ke-IV: Masyarakat Apresiasi Program Budaya dan Religi di Televisi, http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/33109-survey-kpi-ke-iv-masyarakat-apresiasi-program-budaya-dan-religi-di-televisi, 20 Desember 2015
[8] Islampos, 25 Agustus 2015, KPI: Media Cenderung Tuhankan Rating, https://www.islampos.com/kpi-media-cenderung-tuhankan-rating-207052/, 20 Desember 2015
[9] Ratya, Mega Putra l, Jumat 21 Aug 2015, Jokowi Panggil Para Petinggi TV Nasional, Bahas Soal Kejar Rating, detikNews, http://m.detik.com/news/berita/2997866/jokowi-panggil-para-petinggi-tv-nasional-bahas-soal-kejar-rating, 20 Desember 2015
[10] Utomo, Wisnu Prasetya, 13 September 2015, Rating Televisi Hanya Mengedepankan Kuantitas, http://www.remotivi.or.id/kabar/215/Rating-Televisi-Hanya-Mengedepankan-Kuantitas, 20 Desember 2015
[11] Poggi, Jeanine, 8 Desember 2014, Nielsen at a Tipping Point? Accelerating Change Confronts Methodical Researchers: Viewers Falling Out of Nielsen's Core Competency: Live TV, http://adage.com/article/media/nielsen-struggles-media-change/296054/, 19 Desember 2015
[12] Crupi, Anthony, 14 April 2015, 'If You Can't Measure It, You Can't Sell It'
Lack of a Fully Functional Mobile-TV Ratings System Squeezes Profits, http://adage.com/article/digital/lack-functional-mobile-tv-ratings-system-squeezes-profits/298000/, 21 Desember 2015
[13] Flint, Joe, Wall Street Journal, 6 Januari 2015, CNBC to Stop Using Nielsen for Ratings Business, http://www.wsj.com/articles/cnbc-to-stop-using-nielsen-for-ratings-1420520556, 21 Desember 2015
[14] Crupi, Anthony, 14 April 2015, op cit.
[15] Livingstone, Sonia, 2007, From family television to bedroom culture:
young people's media at home, dalam Devereux, Eoin, (ed.), Media studies: key issues and debates. London, UK: SAGE Publications, hal. 302-321.
[16] Livingstone, Sonia, ibid.
[17] Crupi, Anthony, 14 April 2015, op cit.
[18] Ishadi SK, 17 November 2015, The Change of The Mass Media Paradigm; Leave "Conventional Media", Go To "Emerging Social Media".
[19] Baker, Frank, 2012, op cit.
[20] Patel, Sahil, 7 Juli 2015, WTF is OTT? http://digiday.com/platforms/what-is-over-the-top-ott/, 27 Desember 2015
[21] Boluk, Liam, 27 Mei 2015, 7 Deadly Sins: Where Hollywood Wrong about The Future of TV, http://redef.com/original/7-deadly-sins-where-hollywood-is-wrong-about-the-future-of-tv, 27 Desember 2015

Comments

Popular posts from this blog

STASIUN PAMEKASAN Bekas Stasiun Terakhir (Paling Timur) Jalur Kereta Api Pulau Madura (Setelah Jalur Kalianget-Pamekasan Ditutup Jepang)

Pamekasan merupakan stasiun kereta api terakhir atau stasiun paling ujung timur jalur kereta api di Pulau Madura yang mengarah dari Pelabuhan Kamal, Bangkalan, di ujung barat. Sebelum kedatangan penjajah Jepang, dari Stasiun Pamekasan masih ada jalur lanjutan yang mengarah ke Pelabuhan Kalianget, Sumenep. Jalur dari Pelabuhan Kamal Bangkalan ke Pelabuhan Kalianget ini merupakan warisan dari perusahaan Belanda Madura Stoomtram Maatschappij(MSTM). Jepang kemudian mencopoti besi-besi rel kereta jalur Pamekasan-Kalianget untuk keperluan perang. Stasiun Pamekasan yang dibangun sekitar tahun 1898 ditutup 90 tahun kemudian, yakni 1987. Kini di lokasi stasiun yang dulu memiliki emplasemen luas ini dibangun pusat kuliner Kota Pamekasan. Lokasi Bekas Stasiun Pamekasan di Jl. Kamal - Kalianget No.187, Patemon, Kec. Pamekasan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur 69317, Indonesia Lokasi Bekas Stasiun Pamekasan sekarang jadi pusat kuliner Kota Pamekasan Rel dari arah Sumenep (timur) ...

KERETA API DI PULAU GARAM Kisah dari Kalianget Madura

Mengapa dulu di tahun 1890-an Belanda bela-belain bangun jalur kereta api di Pulau Madura? Tak tanggung-tanggung mulai dari ujung barat (Pelabuhan Kamal) hingga ujung timur (Pelabuhan Kalianget). Panjangnya hampir 200 km. Komoditas garam adalah pemicu utamanya. Kalianget, sebuah kota kecil di Kabupaten Sumenep, merupakan salah satu tempat penghasil garam terbesar di Indonesia. Di sini masih tersimpan sisa-sisa kejayaan industri garam sejak lebih dari 100 tahun silam. Namun sulit di sini untuk menemukan jejak kereta api, karena sudah dilucuti oleh Jepang mulai tahun 1942. Perkiraan perlintasan kereta api yang memasuki kawasan PT Garam Kantor PT Garam yang tengah direnovasi. Mengembalikan kejayaan? Sisa-sisa kejayaan garam Jalan masuk ke bagian belakang kompleks PT Garam Area belakang PT Garam yang dulu sebelum dilucuti Jepang salah satu bagiannya adalah emplasmen Stasiun Kalianget Area belakang PT Garam yang dulu sebelum dilucuti Jepang salah...

BEKAS JEMBATAN KERETA API DI BELAKANG RSCM

Dulu utk Kereta Barang Kurun waktu 2014-2016 hampr tiap hari saya ke gedung UI Salemba utk mengikuti kuliah S-2 melalui gerbang belakang kampus. Akses tersebut menyusuri jalan inspeksi sepanjang tepian Sungai Ciliwung yang menghubungkan Jalan Raden Saleh dengan Jalan Diponegoro. Nah, di dekat gerbang belakang UI itulah selalu saya lihat sebidang jembatan yang bentuknya kok mirip jembatan kereta api. Ehhh setelah saya mencari-cari referensi, ternyata benar jembatan ini dulunya adalah jembatan kereta api barang jalur cabang menuju stasiun Salemba yg kini sdh tidak dipakai lagi. Seorang bapak tua yang kebetulan melintas dan coba saya tanya mengamini bahwa jembatan tersebut dulunya adalah jembatan kereta api yang mengarah dari Stasiun Manggarai, Stasiun Cikini, Stasiun Salemba (non-aktif) hingga bertemu jalur rel Stasiun Jatinegara-Pasar Senen. Bekas jembatan rel kereta api Sungai Ciliwung di belakang RSCM Jakpus Bekas jembatan rel kereta api Sungai Ciliwung di belakang RSCM J...