Teknologi dan Industri Content: User Generated Media, Profesional vs Non Profesional, dan Real Time Contributors
Banyak pelaku industri komunikasi massa terlalu sempit di dalam memahami kata konvergensi media. Mereka menerjemahkan kata itu menjadi hanya sebatas teknologi media multiplatform. Mereka memahaminya begini: perkembangan teknologi media telah memberikan banyak pilihan untuk menyampaikan pesan (content) kepada khalayak. Sehingga industri mencaplok sebanyak-banyaknya saluran untuk diisi dengan konten-konten yang seragam. Satu content disiarkan di berbagai platform media.
Pengertian ini tidak sepenuhnya salah, namun penulis buku "Convegence Culture: Where Old and New Media Collide", Henry Jenkins berargumen bahwa pengertian konvergensi lebih menekankan kepada sudut pandang khalayak. Khalayak adalah pihak yang mencari informasi baru dan menjalin hubungan dengan pesan-pesan (contents) yang tersebar di berbagai media. Lalu muncul terminologi participatory culture (budaya partisipatif) sebagai bagian dari konvergensi yang cenderung berlawanan dengan perilaku konsumen media tradisional yang pasif. Pemahaman tentang produser media dan konsumen media (pemirsa, pendengar, pembaca) telah bertransformasi menjadi para partisipan yang berinteraksi di antara mereka berdasarkan aturan-aturan baru[i].
Budaya partisipatif melahirkan pemahaman baru tentang sumber pesan media. Konsep media (tradisional) sebagai gatekeeper yang lebih condong menganggap khalayak adalah pihak yang sebatas menerima (pasif), berangsur berubah dengan berkembangnya budaya partisipatif yang melahirkan konsep collective intelligence. Pakar teknologi dari MIT, Thomas W Malone mendefinisikan colletive intelligence sebagai kelompok individu yang melakukan kerja bersama melalui beragam cara sehingga menjadi intelligent (cerdas)[ii]. Sebenarnya konsep ini sudah lama kita aplikasikan di dalam kehidupan sosial sehari-hari. Perkembangan di dalam teknologi komunikasi kemudian membuatnya menjadi jauh lebih luas.
Dua pengamat bidang marketing, David Verklin dan Bernice Kanner di dalam bukunya "Watch This Listen Up Click Here", meyakini bahwa tidak lama lagi akan terjadi ledakan jumlah konsumen media yang memegang kendali atas apa dan bagaimana mereka mendengar dan melihat. Gejala ke arah tersebut sudah sangat terasa kini. Budaya partisipatif pada media baru kemudian memunculkan 'profesi-profesi' bidang media baru dengan istilah-istilah baru. Kita akan mencoba menguraikan gambaran tentang media dan 'profesi-profesi' baru tersebut.
User Generated Media (UGM)
Sebuah survey terbaru di AS mendapati bahwa rata-rata individu usia 18-36 tahun di sana menghabiskan 17,8 jam per hari untuk menggunakan berbagai jenis media. Tiga puluh persen (5,4 jam) dari 17,8 jam tersebut untuk bermedia sosial dengan memanfaatkan berbagai layanan UGM dan 33 persen untuk mengakses media tradisional. Dengan komposisi yang sudah hampir seimbang itu, maka ke depan diproyeksikan penggunaan UGM akan mendominasi dibandingkan penggunaan media tradisional[iv].
Budaya partisipatif di dalam konsep media baru lebih memandang makna User Generated Media (UGM) dari kaca mata pengguna (user). UGM menjembatani kepentingan para pengguna untuk mengakses colletive intelligence menggunakan media-media yang bisa secara aktif dan interaktif mereka gunakan.
Terdapat dua karakteristik yang melekat kepada pemahaman UGM. Dua karakteristik tersebut adalah mudah digunakan (easy to use) dan memberikan kendali kepada para pengguna (let the user control). Istilah UGM sendiri mengacu kepada produksi media dengan menggunakan teknologi-teknologi baru, seperti podcasting, video digital, dan fotografi menggunakan telepon seluler untuk bisa diakses secara luas oleh khalayak[vi]. Karakteristik kendali di tangan pengguna ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Jenkins, bahwa pengelolaan media berada di tangan para pengguna.
Lalu apa yang menjadi pendorong para pengguna ini memanfaatkan UGM? Tiga hal - seperti didapati dari penelitian Guosong Shao - menjadi motivasi mereka menggunakan UGM, yakni: memenuhi kebutuhan akan informasi, hiburan, dan kebutuhan mengatur mood. Di samping itu Shao juga menemukan motif keinginanan untuk menjalin hubungan dan berinteraksi secara sosial dengan para pengguna lain. Sementara hal yang memicu mereka saat memroduksi dan mengirimkan pesan melalui UGM adalah dalam rangka kebutuhan mengekspresikan dan mengaktualisasi diri. Tiga kelompok kebutuhan ini di dalam praktik penggunaannya jalin-menjalin satu sama lain.
Profesional vs
Non Profesional
Membaurnya batas antara produser media dan khalayak menyulitkan kita untuk mempelajari dinamika para pelaku di dalam komunikasi media baru. Manakah yang melakukannya secara profesional dan manakah yang secara non profesional. Bahkan banyak di antara pelaku non profesional pada media baru sekaligus adalah pelaku profesional pada media tradisional. Profesi-profesi di media tradisional sejauh ini telah berkembang, baik secara individual maupun organisasi, ke dalam mekanisme yang baku. Namun munculnya media baru telah memberikan guncangan bagi tatanan media tradisional yang telah terbentuk selama berpuluh-puluh tahun ini.
Penulis Andrew Keen di dalam bukunya "The Cult of the Amateur: How Today's Internet is Killing Our Culture and Assaulting Our Economy" termasuk salah satu pihak yang sangat khawatir dengan munculnya 'produser-produser' baru di media sosial. Pemerhati media dari Inggris ini bahkan secara 'kasar' menyebut para pengguna media sosial ini sebagai 'monyet'[vii]. Keen mengatakan bahwa monyet tidak akan melahirkan karya-karya bermutu tinggi. Keen mungkin terlalu jauh berpolemik dengan membenturkan situasi ini dengan penurunan kualitas produksi. Kenyataannya banyak tersebar di media-media baru tulisan, foto, audio, video, maupun karya artistik lain yang mendapatkan apresiasi tinggi.
Jika kita terganggu dengan karya-karya 'sampah' yang beredar jutaan jumlahnya, bukan berarti ini merupakan indikasi punahnya karya-karya yang baik. Produksi karya 'sampah' itu sendiri bukan diniatkan untuk melawan karya yang baik. Di sisi lain, kedangkalan selera yang muncul di media baru, seperti dirisaukan Keen, juga merebak di media massa tradisional. Kerisauan Keen sendiri bukan perkara baru. Perasaan yang sama terjadi juga pada masa -mengutip McLuhan- the age of print. Saat itu muncul kekhawatiran akan turunnya kualitas isi tulisan akibat merebaknya produksi buku di Eropa. Namun kenyataannya the age of print justru membawa babak baru pada pertumbuhan peradaban di Eropa.
Kini media-media tradisional kenamaan sudah membuka pintu untuk kalangan non profesional ikut berperan di dalam produksi content. Di Indonesia salah satunya adalah situs www.store.tempo.co yang membuka kesempatan bagi khalayak mengunggah karya-karya foto jurnalistik. Begitu juga dunia penyiaran yang membuka diri terhadap karya-karya citizen jornalist untuk ditayangkan secara berkala. Harus diakui, hingga saat ini, penghasilan yang didapat dari media sosial belum bisa diandalkan. Hal ini membuat para pengisi content yang sudah terkenal di media sosial, merambah ke media tradisional. Beberapa penulis di media baru seperti Raditya Dika (radityadika.com), Trinity (www.naked-traveler.com), Agnes Davonar, dll, membukukan tulisan-tulisan mereka dan ternyata buku-buku tersebut laris di pasaran[viii]. Raditya Dika dan Trinity melangkah lebih jauh dengan menjadi bintang televisi, film, dan iklan.
Massifnya jumlah pengguna situs video YouTube di seluruh dunia, berimbas kepada perubahan peta industri hiburan bahkan di jantungnya, Hollywood. Namun beberapa pelaku industri hiburan di AS (rumah produksi, agensi, publisher, biro iklan dll) mengkritisi cara bisnis YouTube yang mereka anggap akan menghancurkan bisnis hiburan Hollywood[ix]. Mereka menuding YouTube sangat tidak adil di dalam pembagian pendapatan di antara para pelaku industri ini. Beberapa bahkan sudah memutuskan kontrak dan keluar dari skema kerja sama dengan YouTube[x].
Real Time Contributors
Sijampang (Sistem Informasi Hujan dan Genangan Berbasis Keruangan) bisa diakses secara terbuka dengan memanfaatkan collective intelligence berdasarkan laporan mutakhir dari para kontributor. Pengguna bisa mengaksesnya di alamat http://neonet.bppt.go.id/sijampang serta di akun Facebook http://bit.ly/fbsijampang atau dapat mengikutinya melalui akun twitter infohujan.
Di dalam pengembangan teknologi komunikasi berbasis collective intelligence (CI), seperti Sijampang ini, peran seorang real time contributor sangat penting. Real time contributor berfungsi secara sosio-teknologi yang menghubungkan antara apa yang ia persepsikan di lingkungannya dengan mesin otomatisasi[xii]. Selama data-dara yang dimasukkan oleh para realtime contributors memiliki ketepatan dan kebenaran maka informasi yang kemudian dikirimkan kepada para pengguna menjadi sangat bermanfaat.
[i] Jenkins, Henry. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press, 2006
[ii] Brockman, John, Setegeman, Nina, dan Winberger, Russel, 21 November 2012, COLLECTIVE INTELLIGENCE: A Conversation with Thomas W. Malone, https://edge.org/conversation/collective-intelligence
[iii] Henshall, Stuart, 30 Juni, Social Software and CI?, http://www.henshall.com/blog/archives/cat_knowledge_innovation.html
[iv] Collier, Mack, 17 Maret 2014. In the Future Your Customers Will Completely Control Your Marketing, http://mackcollier.com/in-the-future-your-customers-will-completely-control-your-marketing/
[v] Henshall, Stuart, op cit.
[vi] Shao, Guosong, 13 Oktober 2008, Understanding The appeal of user-generated media: a uses and gratification perspective. www.emeraldinsight.com/1066-2243.htm
[vii] Keen, Andrew, 2007. The Cult of the Amateur: How Today's Internet Is Killing Our Culture, Crown Publishing Group, hal. 3-5.
[viii] Bani, Yunus, 5 September 2014, 5 Penulis Blog Yang Sukses Menerbitkan Buku Best Seller, http://nyonyabuku.com/5-penulis-blog-yang-sukses-menerbitkan-buku-best-seller/
[ix] Eördögh, Fruzsina, 29 Agustus 2013, The Current YouTube Economy Is In Peril, http://readwrite.com/2013/08/29/the-youtube-economy-is-in-peril
[x] Calacanis, Jason, 2 Juni 2013, I Ain't Gonna Work on YouTube's Farm No More, http://www.launch.co/blog/i-aint-gonna-work-on-youtubes-farm-no-more.html
[xi] Damanik, Caroline dan Wadrianto, Glori K (ed.) 8 Juni 2010, Mau Jadi Kontributor Info Sijampang? http://sains.kompas.com/read/2010/06/08/16264875, /Mau.Jadi.Kontributor.Info.Sijampang-5#
[xii] Zamansky, Anna, dan Arazy, Ofer , 2015, Argumentation Logic as a Formal Foundation for Collective Intelligence Systems: a Roadmap, University of Haifa, University of Alberta and University of Haifa, www.researchgate.net/profile/Ofer_Arazy/publication/272819001_Argumentation_Logic_as_a_Formal_Foundation_for_Collective_Intelligence_Systems_a_Roadmap/links/54ef8a960cf25f74d7227dd1.pdf
Comments
Post a Comment